BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan
belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung dari bagaimana cara proses
belajar yang di alami oleh siswa sebagai anak didik.
Pemakaian teori-teori belajar dengan situasi formal lebih di batasi dalam
lembaga pendidikan formal, yaitu sekolah. Pandangan/ teori tentang belajar
menurut ahli tertentu akan mennentukan bagaimana seharunya “menciptakan”
belajar itu sendiri, dan usaha itu lazimnya dikenal dengan mengaja.
Dalam belajar seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sehingga bagi pelajar
adalah penting untuk mengetahui faktor-faktor yang di maksud. Hal ini menjadi
lebih penting tidak hanya bagi (calon-calon) pendidik, pembimbing dan pengajar
di dalam mengatur dan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
sedemikian hingga dapat terjadi proses belajar yang optimal.
Di dalam proses belajar mengajar terjadilah sebuah interaksi antara berbagai
komponen yang setiap komponen di usahakan saling pengaruh-mempengaruhi
sedemikian hingga dapat tercapai tujuan pendidikan dan pengajaran. Permasalahan
muncul ketika bagaimana kita dapat mengenal siswa, aspek/ karakteristik apa
yang dimilikinya serta bagaimana cara-cara untuk mempengaruhinya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian aliran humanistic,
sibernestik dan konstruktivistik?
2. Teori humanistic, sibernestik dan
konstruktivistik menurut para tokoh?
3. Aplikasi teori humanistic, sibernestik
dan konstruktivistik dalam pembelajaran?
4. Kelemahan dan kelebihan teori
humanistic, sibernestik dan konstruktivistik?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Aliran
Humanistik
Psikologi humanistik merupakan
salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an dengan akar
pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan.
Humanistik berkembang menjadi a third force atau a third power atas reaksi
terhadap dua aliran psikologi sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisme/
psikoanalisa. Psikologi behaviorisme dipelopori oleh ivan Pavlov, behaviorisme
merupakan aliran yang mempelajari perilaku individu yang diamati dengan tujuan
untuk meramalkan dan mengontrol tingkah laku individu tersebut. Behaviorisme
memandang manusia ibarat makhluk mekanistik yang dikendalikan kekuatan dari
luar dirinya.
Psikoanalisis adalah aliran yang
dipelopori oleh psikoanalisis ala freud. Merupakan aliran psikologi yang
mencari akar atau sebab tingkah laku manusia dalam motivasi dan konflik yang
ada di dalam bawah sadar. Psikologi behaviorisme dan psikoanalisis tidak
memosisikan manusia sebagai manusia keduanya tidak bisa menjelaskan aspek
eksistensi manusia yang positif dan penentu seperti: cinta, nilai, makna, dan
pertumbuhan pribadi. Kekosongan inilah yang diisi oleh psikologi
humanistikseperti yang dikemukakan oleh Victor E frankl “ saya pikir, sudah
saatnya kita mengakui kenyataan bahwa manusia bukan sekedar mekanisme atau
hasil pelaziman kita harus mengakui kemanusiaan manusia. Kini saatnya kita
mengakui bahwa manusia adalah wujud yang selalu mencari makna dan akan terlanda
keresahan hati bila makna yang dicarinya belum ditemukan.
Pada dasarnya, perkembangan
psikologi humanistik bermula dari ajaran Santo Thomas Aquinas, tentang adanya
kemauan bebas (freewill) manusia da tanggung jawab atas tindakan mereka. Namun
dalam perkembangan selanjutnya, psikologi humanistik dipandang sebagai a new
trend karena merupakan aliran psikologi paling menonjol pada tahun 1960-an.
Dalam mengembangkan teorinya,
psikologi humanistik sangat memerhatikan dimensi manusia dalam berhubungan
dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitikberatkan pada kebesaran individu
untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya. Nilai-nilai tanggung
jawab personal, otonomi, tujuan, dan pemaknaan.
Dalam hal itu James Bugental(1964)
mengemukakan lima dalil utama psikologi humanistic yaitu:
1. Keadaan manusia tidak dapat direduksi ke
dalam komponen-komponen.
2. manusia memiliki keunikan tersendiri
dalam berhubungan dengan manusia lainnya.
3. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya
dalam mengadakan hubungan dengan orang lain.
4. Manusia memiliki pilihan-pilihan dan
dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya.
5.
Manusia
memiliki kesadaran dan sengajauntuk mencari makna, nilai, dan kreativitas.[1]
Fokus utamasecara psikologi
humanistik dalam bidang pendidikan yaitu mengembangkan aspek individu secara
totalitas, baik fisik, intelektual, emosional maupun social serta bagaimana
seluruh aspek tersebut berinteraksi untuk mempengaruhi balajar serta motivasi
belajarsiswa dalam mengaktualisasikan diri. Psikologi humanistic berpandangan
bahwa manusia memiliki kekayaan jiwa yang sarat dengan potensi-potensi yang
haus dikembangkan oleh karena itu psikologi harus lebih manusiawi mempelajari
masalah-masalah kemanusiaan yang mencakup unsure kesadaran dan ketidak sadaran.
Disamping itu manusia dipandang sebagai makhluk yang aktif bebas menentukan
perilakunya sendiri karena memiliki kekuatan di dalam dirinya yang mendorong
kearah aktualisasi diri dengan potensi-potensi yang dimilikinya.
Slavin mengmukakan bahwa pendidikan
humanistik berarti pendidikan yang bercorak kemanusiaan. Tokoh yang menggagas
pertama kali pendidikan humanistik dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah Jean
Jacques Rousseau dengan ide nya yang berbunyi “ man is good by nature and must
discover that nature and follow it“ artinya manusia pada hakekat nya lebih
baik, oleh karena itu hakekat tersebut harus ditemukan dan diikuti. Tokoh lain
yang dianggap memberkan pengaruh yang besar dalam dunia pendidikan sekarang
adalah Jhon Dewey, Abraham Maslow dan Carl R. Rogers.
Dalam pendidikan humanistik, ada
beberapa hal pokok yang mendasar yaitu:
1. siswa harus memiliki pegangan
substansial (a substantial hand) tentang arah pendidikan yang dilakukan, baik
dalam hal memilih pelajaran dan tentang cara mempelajarinya.
2. Adanya unsur rasa dan unsur cipta yang
harus diperhatikan dan perlu dikembangkan dalam proses belajar mengajar karena
kedua unsur tersebut terjadi secara
stimulant yakni ketika siswa berfikir pada saat itu juga mereka merasa. Hal
tersebut menuntut agar seorang pendidik yang biasanya lebih banyak berperan
sebagai fasilitator dari pada pemberi ilmu pengetahuan, agar tidak menciptakan
jarak social dngan siswanya melainkan menjadi siswa senior yang selalu siap
menjadi nara sumber, konsultan dan sebagai juru bicara.
3. Pendidk harus menciptakan lingkungan
kelas yang dapat menjamin proses belajar mengajar, sebab salah satu ciri kelas
humanistik adalah lingkungan kelas yang aman dan nyaman agar siswa merasa yakin
bahwa mereka dapat belajar dan dapat mengeerjakan hal-hal positif.
4. Pendidikan humanistik diharapan untuk
dapat membantu siswa agar mencapai perwujudan dirinya sesuai dengan kemampuan
dasar yang dimilikinya, sehingga tujuan humanistic dapat tercapai yaitu
tercapainya derajat manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya ditengah
kehidupan masyarakat sesuai potensi yang dimilikinya.[2]
Menurut Rogers ciri belajar terdiri
dari:
1. Belajar yang bermakna
Yaitu belajar
yang terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan
perasaan peserta didik.
2. Belajar yang tidak bermakna
Yaitu
belajar yang terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek aliran,
akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta didik.
Rogers juga mengemukakan berapa
prinsip belajar yang penting yaitu:
1. Manusia itu memiliki keinginan alamiah
untuk belajar, memiliki rasa ingin tahu terhadap dunianya dan keinginan yang
mendalam untuk mengekplorasi dan asimilasi pengalaman baru.
2. Belajar akan cepat dan lebih bermakna bila
bahan yang dipelajari relevan dengan kebutuhan siswa.
3. Belajar dapat ditingkatkan dengan
mengurangi ancaman dari luar.
4. Belajar secara psrtisipatif jauh lebih
efektif dari pada belajar secara pasif dan orang yang belajar lebih banyak bila
belajar atas pengarahan diri sendiri.
5. Belajar atas prakarsa diri sendiri yang
melibatkan keseluruhan pribadi, pikiran maupun perasaan akan lebih baik dan
tahan lama.
6. Kebebasan, kreatifitas dan kepercayaan
diri dalam belajar dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri dan evaluasi dari
orang lain tidak brgitu penting.
Menurut rogers peranan guru dalam
kegiatan belajar siswa, menurut pandangan teori humanisme adalah sebagai
fasilitator yang berperan aktif dalam:
a. Membantu menciptakn iklim kelas yang
kondusif, agar siswa bersifat positif terhadap belajar.
b. Membantu siswa untuk memperjelas tujuan
belajarnya dan memberikan kebebasan siswa untuk belajar.
c. Membantu siswa untuk memanfaatkan
dorongan dan cita-cita mereka sebagai kekuatan pendorong belajar.
d. Menyediakan berbagai sumber belajar
kepada siswa.
e. Menerima pertanyaan dan pendapat serta
perasaan dari berbagai siswa sebagaimana adanya.[3]
Kelebihan dan Kekurangan Teori belajar Humanistik
Kelebihannya:
a. Siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu
perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu
perangkat tujuan yang telah ditentukan pula karena para siswa bebas menetukan
cara mereka sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri.
b. Pendidik aliran Humanistik mempunyai perhatian yang murni
dalam pengembangan anak-anak (perbedaan dari per individu)
c. Ada perhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan
perkembangan siswa secara individual dan hubungan-hubungan manusia ini adalah
suatu uasaha untuk mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu yang di jumpai
oleh siswa, baik di dalam masyarakat.
d. Memperoleh pengetahuan secara meluas tentang sejarah,
sastra, pengolahan strategi untuk berfikir produktif, karena pendekatan
Humanistik merupakan suatu pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang yang
dikehendaki secara sosial.
e. Para siswa dapat memilih suatu pelajaran agar mereka
dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah
pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan
aktivitas-aktivitas kreatif yang akan dilakukan.
Kekurangannya:
a. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan
ketinggalan dalam proses belajar.
b. Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan
diri sendiri dalam proses belajar.[4]
B.
Aliran Sibernetik
Menurut
teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini
mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik,
namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan
dipelajari siswa.[5]
Asumsi
lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang
ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara
belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi. Sebuah informasi mungkin akan
dipelajari oleh seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi
yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang
berbeda.
Hakekat
manajemen pembelajaran berdasarkan teori belajar sibernetik adalah usaha guru
untuk membantu siswa mencapai tujuan belajarnya secara efektif dengan cara
memfungsikan unsur-unsur kognisi siswa, terutama unsur pikiran untuk memahami
stimulus dari luar melalui proses pengolahan informasi. Proses pengolahan
informasi adalah sebuah pendekatan dalam belajar yang mengutamakan berfungsinya
memory. Model proses pengolahan informasi memandang memori manusia
seperti komputer yang mengambil atau mendapatkan informasi, mengelola dan
mengubahnya dalam bentuk dan isi, kemudian menyimpannya dan menampilkan kembali
informasi pada saat dibutuhkan.
Teori Belajar Menurut Pask dan Scott
Pask dan scott juga termasuk
penganut teori sibernetik. Menurut mereka ada dua macam cara berfikir, yaitu
cara berfikir serialis dan cara berfikir wholist atau menyeluruh.
Pendekatan serialis yang dikemukakannya memiliki kesamaan dengan pendekatan
algoritmik. Namun apa yang dikatakan sebagai cara berfikir menyeluruh (wholist)
tidak sama dengan cara berfikir heuristik. Bedanya, cara berfikir menyeluruh
adalah berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap
sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang
diamati lebih dahulu, melainkan seluruh lukisan itu sekaligus baru sesudah itu
ke bagian-bagian yang lebih detail. [6]
Siswa tipe wholist atau
menyeluruh biasanya dalam mempelajari sesuatu cenderung dilakukan dari tahap
yang paling umum kemudian bergerak ke yang lebih khusus atau detail. Sedangkan
siswa tipe serialist dalam mempelajari sesuatu cenderung menggunakan
cara berfikir secara algoritmik.
Teori sibernetik sebagai teori
belajar sering kali dikritik karena tidak secara langsung membahas tentang
proses belajar sehingga menyulitkan dalam penerapan. Ulasan teori ini cenderung
ke dunia psikologi dan informasi dengan mencoba melihat mekanisme kerja otak.
Karena pengetahuan dan pemahaman akan mekanisme ini sangat terbatas maka
terbatas pula kemampuan untuk menerapkan teori ini. Teori ini memandang manusia
sebagai pengolah infomasi, pemikir, dan pencipta. Berdasarkan pandangan
tersebut maka diasumsikan bahwa manusia merupakan mahluk yang mampu mengolah,
menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.
Asumsi diatas direfleksikan dalam
model belajar dan pembelajaran yang menggambarkan proses mental dalam belajar
yang terstuktur membentuk suatu sistem kegiatan mental. Dari model ini
dikembangkan prinsip-prinsip belajar seperti:
1)
Proses mental dalam belajar terfokus
pada pengetahuan yang bermakna.
2)
Proses mental tersebut mampu
menyandi informasi secara bermakna.
3)
Proses mental bermuara pada
pengorganisasian pengaktulisasian informasi.
Aplikasi Teori Belajar Sibernetik dalam Pembelajaran
Teori belajar pengolahan informasi
termasuk dalam lingkup teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar adalah
proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung dan merupakan
perubahan kemampuan yang terikat pada situasi tertentu. Namun memori kerja
manusia mempunyai kapasitas yang terbatas, oleh karena itu untuk mengurangi
muatan memori kerja, perlu memperhatikan kapabilitas belajar, peristiwa
pembelajaran, dan pengorganisasian atau urutan pembelajaran. Belajar bukan
sesuatu yang bersifat alamiah, namun terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu,
yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal. Sehubungan hal tersebut, maka
pengelolaan pembelajaran dalam teori belajar sibernetik, menuntut pembelajaran
untuk diorganisir dengan baik yang memperhatikan kondisi internal dan kondisi
eksternal.[7]
Kondisi internal peserta didik yang
mempengaruhi proses belajar melalui proses pengolahan informasi, dan yang
sangat penting untuk diperhatikan oleh seorang guru dalam mengelola pembelajaran
antara lain:
1.
Kemampuan awal peserta didik
2.
Motivasi
3.
Perhatian
4.
Persepsi
5.
Ingatan
6.
Lupa
7.
Retensi
8.
Transfer
Kondisi
eksternal yang sangat berpangaruh terhadap proses belajar dengan proses pengolahan
informasi antara lain:
1.
Kondisi belajar
2.
Tujuan belajar
3.
Pemberian umpan balik
aplikasi
teori belajar sibernetik dalam kegiatan pembelajaran baik diterapkan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2.
Menentukan materi pembelajaran.
3.
Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi pelajaran.
4. Menentukan
pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi tersebut.
5. Menyusun materi
pelajaran dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasinya.
6. Menyajikan
materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan
materi pelajaran.
Kelebihan dan Kelemahan Teori
Belajar Sibernetik
Kelebihan strategi pembelajaran yang
berpijak pada teori pemrosesan informasi adalah:
1.
Cara berfikir yang berorientasi pada
proses lebih menonjol.
2.
Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
ekonomis.
3.
Kapabilitas belajar dapat disajikan
lebih lengkap.
4.
Adanya keterarahan seluruh kegiatan
belajar kepada tujuan yang ingin dicapai.
5.
Adanya transfer belajar pada
lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.
6.
Kontrol belajar memungkinkan belajar
sesuai dengan irama masing-masing individu.
7.
Balikan informatif memberikan
rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai
dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Sedangkan kelemahan dari teori
ssibernetik adalah terlalu menekankan pada sistem informasi yang dipelajari,
dan kurang memperhatikan bagaimana proses belajar.
C.
Teori Belajar Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya
dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan
imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif[8]
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa
siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan
sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru.
Adapun perkembangan kognitif itu dipengaruhi oleh tiga dasar, yaitu
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian
struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian
kembali yang secara terus menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi.[9]
Jadi teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu mutlak diperoleh
dari konstruksi/pembentukan pemahaman dalam diri seseorang terhadap bahan yang
mereka pelajari dan juga melalui pengalaman yang diterima oleh panca indra.
Teori Pieget
Menurut Piaget perkembangan kognitif
sebagian besar bergantung pada seberapa besar anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran diterapkan dalam program-program yang
menekankan; pertama, pembelajaran melalui penemuan dan pengalaman-pengalaman
nyata dan pemanipulasian langsung alat, bahan, atau media belajar yang lain.
Kedua, peranan guru sebagai seseorang yang mempersiapkan lingkungan yang
memungkinkan siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar yang luas.
Perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan
informasi yang terpisah, namun lebih merupakan pengkonstruksian oleh siswa
suatu kerangka mental untuk memahami lingkungan mereka. Guru seharusnya
menyediakan diri sebagai model dengan cara memecahkan masalah tersebut dan
membicarakan hubungan antara tindakan dan hasil. Guru seharusnya hadir sebagai
nara sumber, dan seharusnya bukan menjadi penguasa kelas yang memaksakan
jawaban yang benar. Siswa harus bebas membangun pemahaman mereka sendiri.
Pendidik juga harus belajar dari siswa. Mengamati siswa selama aktivitas meraka
dan mendengarkan secara seksama pertanyaan mereka yang banyak mengungkapkan
minat dan tingkat belajar mereka. Solusi siswa terhadap masalah dan pertanyaan
mereka mencerminkan pandangan mereka.[10]
Aplikasi Teori Belajar dalam Kegiatan Pembelajaran
Menurut
Teori Konstruktivistik
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah
kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima
unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1.
Memperhatikan
dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan
pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus
memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk
mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2.
Pengalaman
belajar yang autentik dan bermakna
Segala
kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa
sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk
mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari
kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif
Siswa
diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja
dalam berbagai konteks sosial.
4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa
didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena
itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur
kegiatan belajarnya.
5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa
tentang dunia ilmiah.
Sains
bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses
dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa
Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstrutivistik
Kelebihannya:
a. Memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab
siswa itu sendiri
b. Mengembangkan kemapuan siswa untuk mengajukan pertanyaan
dan mencari sendiri jawabannya.
c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian aau
pemahaman konsep secara lengkap
d.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.[11]
e.
Akan menghasilkan atau menemukan sebuah keterampilan yang di butuhkan
karena belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan.
f. Siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif
konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain
tentang problem yang dihadapi.
g. Siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika
menghadapi stimulus baru.
Kekurangannya:
a. Sulit mengubah keyakinan Guru yang sudah terstruktur
bertahun-tahun menggunakan pendekatan tradisional.
b. Guru Konstruktivistik dituntut untuk lebih kreatif dalam
merencanakan pelajaran dan memilih atau menggunakan media.
c. Pendekatan konstruktivis menuntut perubahan siswa
evaluasi, yang mungkin belum bisa diterima oleh otoritas pendidik dalam waktu
yang dekat.
d. Fleksibilitas kurikulum mungkin masih sulit diterima oleh
guru yang terbiasa dengan kurikulum yang terkontrol.
e. Siswa dan orang tua mungkin memerlukan waktu beradaptasi
dengan proses belajar dan mengajar yang baru.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Aliran Humanistik
Teori Humanistik mengemukakan bahwa kreativitas sebagai
hasil dari kesehatan psikologis tingkat tinggi dan teori ini percaya
bahwa kreativitas dapat berkembang selama hidup. Perhatian psikologi tertuju
pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan di bimbing oleh
maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman
mereka sendiri.
Aliran Konstruktivistik
Yang terpenting dalam teori
konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus
mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan
mereka, bukannya guru atau orang lain. Belajar lebih diarahkan pada
experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan
pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian
dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
Aliran Sibernetik
Menurut
teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini
mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik,
namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari
siswa.
Aliran Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori
belajar yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali
pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses
belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa
menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif
DAFTAR
PUSTAKA
Desmita.2010. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Hadis, Abdul dan Nurhayati. 2010. Psikologi Dalam Pendidikan.
Bandung:Ayabeta
Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember: STAIN
Jember Pres
Mahmud. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Remaja
Grafindo Persada
w. Crapps, Robert. 1995. Dialog Psikologi Dan Agama. Yogyakarta: Kanisius
Yudhawati, Ratna dan Dani Haryanto.
2011. Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT Prestasi Pustakarya
[1] Mahmud, psikologi pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), 24
[2] Haryu Islamuddin, Psikologi
pendidikan (Jember: Stain Jember Press, 2011), 126
[3] Abdul hadis dan Nurhayati, Psikologi
dalam pendidikan (Bandung: Alfaqfta, 2010),72
[4] Desmita,psikologi perkembangan peserta didik, (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2010), hal 45
[5] Muhibbin Syah, Psikologi perkembangan peserta didik(Jakarta:PT.
Raja grafindo persada,2011), hal.49
[6] Ratna Yadayati dan Dani Hariyanto, teori-teori dasar psikologi
pendidikan,(Jakarta: PT Prestasi Pusta Karya, 2011), hal. 60
[7] W. Crapps, Robert, dialog psikologi dan agama,(Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hal. 90
[8] Drs. Wasti Soemanto. Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. (Jakarta: RINEKA CIPTA,
1990). Hlm. 130
[9]Drs. Wasti Soemanto. Psikologi Pendidikan
Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1990). Hlm. 129
[11] Prof. Dr. H. Yatim
Riyanto, M. Pd. Paradiqma Baru Pembelajaran.(Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010). Hlm. 147
Terimakasih.. tulisannya sangat bermanfaat..
BalasHapusMy blog